Port diatur ke Kandangan untuk merayakan kemenangan kedatangan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Mr Dirk Fock, untuk berwisata di Bagian Selatan dan Kalimantan Timur 1924 |
Kabupaten Hulu
Sungai Selatan
adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan, Indonesia.
Ibukota sekaligus pusat pemerintahan terletak di Kandangan. Hulu Sungai Selatan
memiliki luas sekitar 1.703 km² dan berpenduduk sekitar 212.678 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Hiasan naga di jembatan Amandit tahun 1924 |
Secara
geologis daerah ini terdiri dari pegunungan yang memanjang dari arah timur ke
selatan, namun dari arah barat ke utara merupakan dataran rendah alluvial yang
kadang-kadang berawa-rawa. Kondisi topografi ini menyebabkan udara di wilayah
ini terasa dingin agak lembap dengan curah hujan pada tahun 2002 sebanyak 2.124
mm.
Dari
arah utara melingkar ke arah barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan di aliri oleh
Sungai Amandit bermuara ke Sungai
Negara (anak sungai Barito) yang berfungsi sebagai sarana
prasarana perhubungan dalam kabupaten dan ke kabupaten lainnya.
Batas Wilayah
Pada masa Penjajahan
Belanda, Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah bagian dari Afdeling Van
Hoeloe Soengai yang berkedudukan di Kandangan. Afdeling Van Hoeloe
Soengai terdiri dari (lima) onder afdeling, yaitu:- Onder Afdeling Tanjung
- Onder Afdeling Amoentai
- Onder Afdeling Barabai
- Onder Afdeling Kandangan
- Onder Afdeling Rantau
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang pembagian wilayah ini dipertahankan seperti pada masa penjajahan Belanda, hanya namanya yang diganti menjadi Hoeloe Soengai Ken Riken.
Dengan
mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, seseorang pada dasarnya telah memilih
satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal
merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan
diri.
Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri.
Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman.
Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan?
Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat.
Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya.
Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.
Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri.
Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman.
Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan?
Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat.
Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya.
Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.
Nagara
Nagara merupakan kota kecil yang ditempati Sungai Nagara (cabang Sungai Barito) dan sering meluap. Karena itu, rumah penduduk di tenpat ini umumnya adalah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Pada saat musim hujan, hampir seluruh bagian kota tertutupair kecuali jalan yang sengaja dibuat tinggi, namun pada puncak musim hujan, permukaan jalan juga tertutup air sehingga Nagara berubah menjadi semacam “Kota Air”.
Menurut catatan sejarah, Nagara yang terletak tidak jauh dari kota Kandangan, merupakan ibukota dari kerajaan pertama di Kalimantan Selatan bernama Nagara Dipa sebelum dipindahkan oleh Pangeran Samudera ke Bandarmasih yang kemudian berkembang menjadi Kota Banjarmasin saat ini. Nagara juga menjadi pusat kerajinan senjata tajam seperti pedang, golok dan keris. Para pengrajin ditempat ini mampu menghasilkan berbagai jenis senjata tajam seperti Mandau dengan bentuk yang indah dilengkapi dengan sarungnya.
Mandau adalah pedang tradisional suku Dayak yang dibuat di Desa Hadirau dan Tumbukan Banyu. Pembuatannya memnggunakan peralatan sederhana dan diselesaikan sekelompok pengrajin dan Mandau hanya di buat untuk hiasan. Tapi adapula Mandau yang khas dibuat sendiri oleh ahlinya dan pedang ini dipercayai memiliki kekuatan magis yang diisi melalui upacara ritual.
Pembuatan gerabah terletak di Desa Bayanan tidak jauh dari Pasar Nagara, pengunjung bisa menyaksikan setiap tahapan pembuatan dengan peralatan sederhana atau bahkan pengunjung bisa memcoba ikut untuk pembuatannya. Pengrajin biasanya membuat bermacam-macam bentuk Tembikar dan yang terkenal adalah Dapur Nagara atau Anglo.
Nagara merupakan kota kecil yang ditempati Sungai Nagara (cabang Sungai Barito) dan sering meluap. Karena itu, rumah penduduk di tenpat ini umumnya adalah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Pada saat musim hujan, hampir seluruh bagian kota tertutupair kecuali jalan yang sengaja dibuat tinggi, namun pada puncak musim hujan, permukaan jalan juga tertutup air sehingga Nagara berubah menjadi semacam “Kota Air”.
Menurut catatan sejarah, Nagara yang terletak tidak jauh dari kota Kandangan, merupakan ibukota dari kerajaan pertama di Kalimantan Selatan bernama Nagara Dipa sebelum dipindahkan oleh Pangeran Samudera ke Bandarmasih yang kemudian berkembang menjadi Kota Banjarmasin saat ini. Nagara juga menjadi pusat kerajinan senjata tajam seperti pedang, golok dan keris. Para pengrajin ditempat ini mampu menghasilkan berbagai jenis senjata tajam seperti Mandau dengan bentuk yang indah dilengkapi dengan sarungnya.
Mandau adalah pedang tradisional suku Dayak yang dibuat di Desa Hadirau dan Tumbukan Banyu. Pembuatannya memnggunakan peralatan sederhana dan diselesaikan sekelompok pengrajin dan Mandau hanya di buat untuk hiasan. Tapi adapula Mandau yang khas dibuat sendiri oleh ahlinya dan pedang ini dipercayai memiliki kekuatan magis yang diisi melalui upacara ritual.
Pembuatan gerabah terletak di Desa Bayanan tidak jauh dari Pasar Nagara, pengunjung bisa menyaksikan setiap tahapan pembuatan dengan peralatan sederhana atau bahkan pengunjung bisa memcoba ikut untuk pembuatannya. Pengrajin biasanya membuat bermacam-macam bentuk Tembikar dan yang terkenal adalah Dapur Nagara atau Anglo.
Balanting (net) |
Bamboo Rafting (balanting paring) merupakan puncak dari serangkaian berwisata alam di Loksado. Pada awalnya lanting paring ini merupakan alat transportasi yang digunakan untuk mendistribusikan hasil bumi mereka ke Kota Kandangan melalui Sungai Amandit yang berliku – liku.
Lanting yang dibentuk artistik ini mampu mengarungi jeram yang bercadas dan berarus deras. Karena keunikannya, maka memancing para wisatawan untuk merasakan sensasi petualangan mengarungi Sungai Amandit dengan lanting paring ini. Bercengkerama dengan riam dan jeram berarus deras seraya berhanyut di atas rakit bambu sambil menikmati panorama alam yang indah sepanjang pinggiran sungai yang eksotis akan memberikan kesan tersendiri. Petualangan mengarungi Sungai Amandit dengan rakit bambu ini didampingi oleh pemandu lanting yang terlatih sehingga wisatawan bisa dengan leluasa menikmati serunya petualangan ini.
Ada 2 (dua) trip yang ditawarkan, pertama short trip yaitu pengarungan pendek dengan jarak tempuh kurang lebih 3 (tiga) jam, pengarungan dimulai dari Dermaga Pasar Loksado sampai ke Muara Tanuhi, kedua long trip yaitu pengarungan yang memakan waktu kurang lebih 2 (dua) hari diawali dari Loksado dan diakhiri di Kandangan
Lomba Balanting Paring dilaksanakan dalam rangkaian memperingati Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kegiatan ini berlangsung selama 3 (tiga) hari antara tanggal 7 s/d 10 Desember setiap tahun.
Start dilakukan di dermaga lanting Kecamatan Loksado, menyusuri Sungai Amandit menuju Kandangan. Sebelum mencapai finish biasanya peserta bermalam (istirahat) di Desa Pagar Haur Kecamatan Padang Batung, pagi harinya meneruskan perjalanan menuju finish di Kandangan.
KUE DODOL KANDANGAN
Dodol merupakan kue khas Kandangan yang terbuat dari beras ketan, gula merah dan santan kelapa. Diolah dengan peralatan tradisional yang turun temurun, merupakan makanan souvenir bagi wisatawan Nusantara maupun Manca Negara.
Bila anda berwisata ke Kabupaten Hulu Sungai Selatan, maka jangan lupa untuk mencicipi kue khas ini. Hampir di sepanjang pinggiran jalan di Kandangan dapat ditemukan penjualan kue ini.
Ketupat Kandangan |
Ketupat Kandangan, merupakan menu khas yang menjadi sangat akrab dengan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya.
Apalagi di Kotan asalnya Kandangan, panganan ini sangat terkenal selain dodol, banyak warung makan di Kandangan yang menyediakan makanan khas ini.
Menu khas ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketupat pada umumnya. Kalau di daerah lain menemukan ketupat hanya pada saat – saat tertentu, tidak demikian dengan di Kandangan, setiap saat anda akan menemukan yang namanya ketupat.
3. MANISAN TOMAT
Manisan tomat terbuat dari tomat yang sudah masak diawetkan dan diberi gula. Makanan ini banyak didapati di kedai – kedai dipinggir jalan di Kota Kandangan.
Sentra Kerupuk Singkong di Bamban |
Kerupuk Singkong terbuat dari bahan singkong yang dihaluskan dicampur dengan bumbu khusus, sehingga menimbulkan cita rasa yang gurih dan nikmat
5. TANAMAN HIAS HULU SUNGAI SELATAN
Salah satu tanaman hias yang khas di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah aneka macam jenis Anggrek. Tanaman anggrek yang merupakan family Orchidacaeae adalah family terbesar dari tanaman berbunga yang meliputi 800 genus dan 20.000 spisies, diantaranya terdapat 2.200 – 3.000 jenis anggrek di hutan Kalimantan.
Phalaenopsis |
Selain anggrek – anggrek tersebut terdapat di hutan, saat ini di Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan juga dikembangkan penangkaran anggrek oleh masyarakat setempat, baik perorangan maupun secara kelompok, sehingga kelestarian anggrek di habitat aslinya tetap terjaga.
0 komentar:
Post a Comment