Home » » Nusantara Pernah Pimpin Peradaban Dunia, Sekarang?

Nusantara Pernah Pimpin Peradaban Dunia, Sekarang?

Kamis, 11 April 2002. Robert Dick-Read1, peneliti sejarah purba dari London tengah bekerja di depan komputernya. Sebuah surat elektronik masuk. Dari koleganya,  Profesor Giorgio Buccellati, seorang arkeolog senior dari University of California-Los Angeles (UCLA), yang sejak tahun 1976 aktif memimpin satu tim ekspedisi arkeolog mengekplorasi wilayah sekitar Mesir. Dalam suratnya, Buccellati mengaku kaget sekaligus kagum. “Saya menemukan sebuah porselen cekung yang diselimuti tanah bercampur pasir agak tebal. Setelah dibersihkan, ada fosil sisa-sisa tumbuhan mirip cengkeh di atasnya. Saya yakin itu cengkeh.

Namun ia menyatakan saat itu harus mengkonfirm temuan ini pada koleganya, Dr. Kathleen Galvin, seorang ahli paleobotani (botani purba) yang mengenal tumbuhan ini dengan baik.
Buccellati saat itu tengah melakukan penggalian di atas tanah bekas rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 SM di Terqa, Eufrat Tengah. Galvin segera datang. Setengah tak percaya, Galvin memastikan bahwa itu memang fosil tumbuhan cengkeh.


Kedua pakar tersebut kaget dengan temuannya. Sebagai pakar, mereka mengetahui jika tumbuhan tersebut hanya bisa hidup di satu tempat di muka bumi, yakni di Kepulauan Maluku, sebuah pulau kecil di antara belasan ribu gugusan pulau yang disebut Nusantara.


Temuan Buccellati yang tergabung dalam The International Institute for Mesopotamian Area Studies (IIMAS) tersebut mengindikasikan jika di masa sebelum masehi, para pedagang sekitar Maluku telah sampai di daratan Mesir.


Sebuah penemuan arkeologi di Nusantara setelah Buccellati mengimbangi penemuan cengkeh di Mesir. Arkeolog berkebangsaan Inggris menemukan sisa-sisa biri-biri atau kambing di situs bekas  Pemukiman pada masa yang kurang lebih sama (1.500 SM) di pulau yang lebih jauh, yaitu pulau Timor yang berjarak beberapa ratus mil di sebelah selatan Kepulauan Maluku.


Kedua temuan tersebut membuktikan kepada kita jika di masa sebelum masehi, di zaman para nabi-nabi, pelaut-pelaut Nusantara telah melanglang buana menyeberangi samudera dan menjalin hubungan dengan warga dunia lainnya.
Bahkan Dick-Read meyakini jika sistem pelayaran, termasuk perahu-perahu, dari para pelaut Nusantaralah yang menjadi acuan bagi sistem dan bentuk perahu banyak negeri-negeri lain di dunia. Keyakinan ini diamini oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan senior seperti Dr. Roland Oliver.


Nusantara merupakan gugusan belasan ribu pulau yang terletak di loksi paling strategis di dunia dipandang dari sudut manapun. Inilah cikal bakal negara kesatuan Republik Indonesia. Nama “Indonesia” sendiri, yang berarti, “Pulau-pulau India” diberikan kepada kepulauan itu oleh seorang etnolog Jerman, dan telah dipakai sejak 1884.
Awalnya, Indonesia adalah nama geografis untuk menyebut semua pulau antara Australia dan Asia, termasuk Filipina. Gerakan nasionalis Indonesia mengambilnya dan membuatnya menjadi nama resmi untuk republik mereka pada 1945 dan 1949.
Nusantara atau Indonesia merupakan sebuah bangsa besar dan pernah memimpin peradaban dunia. Bangsa ini pernah menjadi pemimpin bagi dunia dagang dunia, dimana para pedagang Cina misalnya sangat tergantung pada pelaut-pelaut Nusantara.
Swarna Dwipa

Bahkan sebuah literatur klasik Yunani berjudul Periplous tes Erythras Thalasses (70 M), yang terbit sebelum Rasululah SAW lahir, telah menulis suatu daerah bernama Chryse, sebuah nama Yunani untuk “Pulau Emas” atau dalam bahasa sanskrit bernama “Swarna Dwipa”. Ini adalah nama lain bagi Pulau Sumatera.
 Claudius Ptolemaeus

Ptolomeus, seorang ahli navigasi Iskandariyah, juga pernah menyebut nama tersebut dengan istilah Chrysae Chersonesos yang mengacu pada semenanjung Barus3, sebuah kampung kuno penghasil kapur barus yang diekspor ke Mesir sejak zaman Firaun, yang terletak di bagian barat Sumatera Utara.
Bahkan secara penuh kontroversial, nama Nusantara atau Indonesia ikut nimbrung sebagai salah satu kandidat lokasi tempat Benua Atlantis yang hilang, selain tentu saja nama-nama lokasi seperti Pulau Kreta di Yunani, Andalusia, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, dan Estremadura. Adalah penelitian dari Aryso Santos, ilmuwan Brasil, yang selama 30 tahun meneliti tentang Atlantis menyimpulkan jika Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Santos menulis buku “Atlantis, The Lost
Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization” (2005), yang menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia4.
Dalam perjalanannya, Nusantara atau Indonesia, merupakan satu-satunya koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan buatan AS dalam melawan hegemoni Komunisme Soviet. Hal ini memperkuat genggaman Barat (Belanda-AS) atas Indonesia (Hindia Belanda)5. Sejarah dunia telah mengabarkan kepada kita semua bahwa Nusantara atau Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar dunia, memiliki masa lalu yang sangat gemilang. Akankah kegemilangan itu telah berakhir atau akan bangkit kembali? Wallahu’alam bishawab.

(Footnotes)
1Robert Dick-Read merupakan arkeolog dan peneliti sejarah purba yang menulis buku “The Phantom Voyagers:
Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times”, diterbitkan di Inggris, 2005. Oleh Mizan diterjemahkan
menjadi “Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika” (Juni 2008).
2 Bernard H.M. Vlekke; Nusantara, Sejarah Indonesia; KPG, Jakarta 2008; hal.6.
3 ES Ito; Negara Kelima; Serambi Ilmu Semesta, 2005; hal.142.
4 Bagi yang ingin lebih jauh menelusuri keyakinan Santos, silakan klik di http://www.atlan.org
. Salah satu buku pegangan tertua soal Atlantis bisa dilihat dalam buku “Timaeus and Critias” Plato. Novel sejarah
yang memikat tentang Atlantis juga ditulis oleh ES Ito dalam ‘Negara Kelima’ (2005).
5 Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg; Indonesia Merdeka Karena Amerika?, Politik Luar Negeri AS dan
Nasionalisme Indonesia 1920-1949; Serambi, Agustus 2008; hal.41.

0 komentar:

Post a Comment

Blogger Widget Get This Widget